BAB
I
A.PENDAHULUAN
Islam
adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk
mengatur interaksi umat manusia dengan Allah, sesamanya dan dirinya sendiri.[1]Manusia
yang membentuk kesatuan politik, yang diikat oleh aqidah system yang sama
disebut umat dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa umat islam merupakan
akumulasi manusia yang membentuk kesatuan politik, meskipun terdir dari
berbagai bangsa, etnik dan bahasa yang berbeda.
Sejarah
umat islam dimulai dari sejarah Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT di
Mekkah dengan tujuan untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat,
yang menjadi pedoman hidup dan petunjuk menuju jalan kebenaran dengan syari’at
yang telah ditentukan Allah dalam Firman-Nya (Al-Qur’an).
Namun
akibat dari kelemahan akal daya manusia yang kurang mampunya memahami ajaran
atau aqidah Islam yang telah diajarakan oleh Rasulullah secara utuh serta
tingkatan keimanan dan kefahaman seseorang yang berbeda, mengakibatkan
tokoh-tokoh Islam yang juga merupakan kumpulan orang-orang soleh sebagai
panji-panjinya Islam, ikut terjembab kedalam lubang perpecahan dan perdebatan
dalam Islam. Dan Islam sendiri yang dahulunya diibartkan tubuh yang satu, kini
mulai berpecah belah, saling menghujat antara satu dengan yang lain, saling
membunuh demi memperebutkan kekuasaan,
dan demi membenarkan argument masing-masing dalam masalah aqidah, pemikiran,
serta keyakinan suatu ajaran dalam peribadatan yang akhirnya memunculkan
aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan bersebrangan dan
merupakan awal dari munculnya Ilmu Teologi, Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid dan
Filsafat Islam yang mebahas tentang faham aliran-aliran dalam Islam. Perdebatan
dalam lingkup aqidah Islam bahkan perdebaatan tentang ketauhidan Allah beserta
sifat-sifat-Nya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah
sejarah lahirnya aliran Mu’tazilah dan penamannya?
2. Siapakah Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?
3. Bagaimanakah ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah?
4. Bagaimanakah Filsafat Mu’tazilah?
BAB
II
ALIRAN
MU’TAZILAH
1. Sejarah
lahirnya Aliran Mu’tazilah dan penamannya
Aliran
Mu’tazilah adalah aliran fikiran Islam yang tertua dan terbesar, yang telah memainkan
peranan yang sangat penting . Orang yang hendak megetahui Filsafat Islam yang
sesungguhnya dan yang behubungan dengan agama dan sejarah pemikiran Islam
haruslah menggali buku-buku yang dikarang orang-orang Mu’tazilah, bukan yang
dikarang oleh orang-orang yang lazim disebut Filosofis-filosofis Islam,
seperti Ibnu Sina dan lain-lain.
Aliran
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan Teologi yang lebih mendalam dan lebih bersifat filosofis
dari pada persoalan yanf dibawa oleh golongan Khawarij dan Murji’ah. Dalam
pembahsan, mereka lebih menggunakan akal sehingga mereka mendapat julukan”
kaum rasioanal islam”.
Aliran
Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrah di kota Basrah,
pusat Ilmu dan peradaban Islam itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan
pertemuan bermacam-macam agama.
1.
Asal- usul nama
Mu’tazilah
Nama
“Mu’tazilah” bukan ciptaan orang-orang Mu’taziloah sendiri, tetapi diberikan
oleh orang-orang lain. Orang-orang Mu’tazilah menamakan dirinya “Ahli keadilan
dan Keesaan” (ahlul adll wat tauhid). Nama “Mu’tazilah” diberikan
karena:
a. Orang-orang
Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian ummat, karena mereka (orang-orang
Mu’tazilah) mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa
besar, tidak mukin tidak pula kafir.
b. Wasil
bin Ata’, pendiri aliran Mu’tazilah, berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu
Hasan Basri, dalam soal tersebut diatas, yang karenanya ia memisahkan diri dari
pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut
banyak. Kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian Hasan Basri berkata :
“Wasil telah memisahkan diri dari kami”. Sejak saat itu maka Wasil dan
teman-temannya disebut “golongan yang memisahkan diri” (Mu’tazilah).
c. Ahmad
Amin dalam bukunya (Fajar Islam1/344) berpendapat bahwa yang mula-mula
memberikan nama Mu’tazilah adalah orang-orang Yahudi, seperti diketahui,
sepulang mereka dari tawanan di Siria (perang Maccabea melawan Anthiochus IV,
raja Siria, abad empat atau ketiga sebelum lahir Isa) timbullah diantara mereka
golongan Yahudi “PHAIRISEE” yang artinya
“memisahkan diri” (dari bahasa Ibrani,
parash; to separate). Maksud ebutan ini tepat sekali dipakaii untuk
ornag-orang Mu’tazilah. Selain itu pendapat golongan Yahudi Phairisee mirip
dengan golongan Mu’tazilah, yaitu bahwa semua perbuatan bukan Tuhan yang
megadakannya.
Akan tetapi
pendapat terkhir ini kurang tepat, karena motif berdirinya golongan Phairisee
berlainan dengan motif berdirinya golongan Mu’tazilah.[2]
·
Al mas’udi
memberi keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara wasil dan Hasan Al Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah sebab pendapat mereka bahwa oaring yang berdosa besar
termasuk orng mukmin mauopun kafir, tetapi diantara keduanya (al manzlatu
bainal manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat
dosa besar itu jauh dari golongan orang mukmin dan kafir. Mereka fasiq dan
nantinya akan masuk kedalam neraka untuk selama-lamanya.[3]
2.
Suasana Lahirnya
Mu’tazilah
Sejak Islam meluas, banyklah bangsa-bangsa yang masuk Islam untuk hidup
dibawah naungannya. Akan tetapi tidak semuanya memeluk dengan segala
keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak zaman Mu’awiyah, karena
mereka telah memonopoli segala kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini
menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab dan keinginan menghancurkan Islam
dari dalam, sumber keagungan dan kekuatan mereka.
Diantara musush-musuh Islam dari dalam ialah penggolongan Rafidh, yaitu
golonga syi’ah ekstrim yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang jauh
sam sekali dari ajaran islam, seperti kepercayaan yang jauh sama sekali dari
pada waktu itu tersebar luas di kota-kota Kuffah dan Basrah juga golongan
Tasawuf inkarnasi termasuk musuh Islam.
Dalam keadaan demikian itulah
muncul golongan Mu’tazilah yang berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai
system atau metode dan pendapat-pendapatnya sendiri. Meskipun banyak
golongan-golongan yang ditentang mu’tazilah namun mereka sendiri sering-sering
terpengaruh oleh golongan-golongan tersebut karena pendapat dan fikiran selalu
bekerja, terhadap lawan maupun kawan, baik menerima atau membantah bahkan
sering-sering masuk kepada lawannya tanpa di kehendaki atau disengaja.
Golongan-golongan
yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah
antara lain orang-orang yahudi (misalnya dalam soal baharunya Qur’an) dan
orang-orang Masehi, seperti Saint John of Damascus (676-749) yang terkenal
dengan nama Ibnu Sarjun, Tsabit di Qurroh (836-901) murid John tersebut dan
Kusto bin Lucas (820-921).
Dari John of Damascus diambil teori yang mengatakan bahwa
tuhan adalah dzat yang baik menjadi sumber segala kebaikan dan tidak dapat
mengerjakan keburukan, Tuhan mempunyai sifat-sifat yang bisa yang menimbulkan
pengertian bilangan gambaran-gambaran yang digunakan oleh kitab suci ketika
membicarakan Tuhan hanyalah sebagai lambang belaka, agar manusia dapat mudah
memahamigan akal fikirannya:manusia bebas berbuat dan memilih, yang karenanya
ia dpt dimintai pertanggung jawaban.den
Dari Tsabit bin Qurroh diambil teori
pemujaan kekuatan akal; dengan akal fikiran semata-mata manusia dapat mengetahui
adanya Tuhan; dengan akal pikirannya pula ia dapat mengetahui baik dan buruk;
dan dari Tsabit pula diambil cara-cara pembenaran agama dengan alas an-alasan
fikiran.
Orang-orang Mu’tazilah dengan giatnya
mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya dan
ajaran-ajaran Islam.
2. Tokoh-tokoh
Mu’tazilah
Tokoh-tokoh
Mu’tazilah banyak sekali. Tetapi sebagian saja yang disebutkan, yaitu yang
nampak jelas peranannya dalam perkembangan aliran Mu’tazilah, baik berupa buah
fikiran maupun usaha lainnya.
a. Wasil
bin ‘Atha al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah dan
yang meletakkan ajaran-ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan-golongan
Mu’tazilah. Kebanyak pendapat-pendaptnya belum matang.
b. Abu
al-Huzail al-Allaf (135-226 H. atau753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah
Basrah. Ia mempelajari buku-buku Yunani dn banyak terpengaruh denagn buku-buku
itu. Karena dialah aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya
antara lain:
1)
Tentang Aradl;
dinamakan aradl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak ardl
yang terdapat bukan pada benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada ardl yang
abadi dan ada aradl yang tidak abadi.
2)
Menetapkan
adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom).
3)
Gerak dan diam; Benda yang banyak
bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut
Mutakallimin, hanya itu sendiri yang bergerak.
4)
Hakekat manusia;
hakekatnya adalah badannya, bukan jiwanya (nafs atau rukh).
5)
Gerak penghuni
surga dan neraka; Gerak-gerik mereka akan berakhir dan menjadi ketenangan
(diam). Di dalam ketenangan ini terkumpul semua kesenangan dan siksaan.
6)
Qadar; manusia
bisa mengadakan perbuatan-perbuatan-nya di dunia, akan tetapi kalau sudah
berada tidak berkuasa lagi.
7)
Kahabar tentang sesuatu yang dapat dicapai
panca indra hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang
sekurang-kurangnya, seorang diantaranya dari ahli sorga (maksudnya golongan
Mu’tazilah).
c.
Ibrahim bin
Sayyar an-Nazam (wafat 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abu Huzail al-Allaf,
orang terkemuka, lancer berbicara, banyak mendalami filsafat dan banyak
karangannya. Ketika kecilnya, ia banyak bergaul dengan orang0orang bukan dari
golongan Islam, dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-ilosof
masanya. Beberapa pendapatnya berlaianan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya.
Pendapat-pendapatnya adalah:
1)
Tentang benda
(jisim), selain gerak, semua yang ada disebut jisim, termasuk warna, bau dsb.
2)
Tidak mengakui
adanya bagian yang tidak dapat dibagi-bagi. Ia megatakan bahwa sesuatu bagian
bagaimana pun kecilnya dapat dibagi-bagi. (boleh jadi benarbisa dibagi dalam
fikiran).
3)
Teori lompatan
(thafrah).
4)
Tidak ada diam
(interest),..Diam hanyalah istilah bahasa opada hakikatnya semua yang ada
bergerak (bandingkan dengan Heracleuitus).
5)
Hakekat manusia;
hakekatnya adalah jiwanya, bukan badanya, seperti pendapat al-Allaf. Badan
hanyalah alat saja. Juga ia mengatakan bahwa bahwa badan itu adalah penjara
jiwa, kalau lepas dari badan akan kembalia ke alamnya. (bandingkan dengan
pendapat Platinus) .
6)
Berkumpulnya
contradictie dalam suatu tempat, menunjukkkan adanta Tuhan.
7)
Teori sembunyi
(kumun)
Semua makhluk
dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang sama. Karena itu sebenarnya Nabi
Adam tidak lebih dahulu dari anak-anak, demikian pula seorang ibu tidak lebih
dahulu dari pada anaknya. Lebih dauhulu atau kemudian hanyalah dalam lahir ke
dunia saja, bukan dalam asal-usul kejadiannya.
8)
Berita yang
benar ialah yang diriwayatkan oleh Imam yang Ma’sum.
9)
I’jaz Qur’an
(daya pelemah) terletak dalam pemberitaan hal-hal yang ghaib .
d. Mu’mar
bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H atau 835 M)
Banyak terpengaruh dengan
filosof-filosof , terutama tentang sifat Tuhan.
e. Bisyr
bin al-Mu’tamir (wafat 226 H atau 840 M)
Pendapatnya antara lain, siapa yang
taubat dari sesuatu dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan
menerima siksamyang pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat
tidak mengulangi lagi. Dengan perkataan lain, siksanya akan berlipat ganda.
f.
Jahiz Amr bin
Bahr (wafat 255 H atau 808 M)
Ia terkenal tajam dengan penanya, banyak
karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam.
Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan
kesusastraan.[4]
3.
Ajaran-ajaran
Faham Mu’tazilah (Al-Ushul Al-Kamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazila)
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah
yang tertuang dalam Al-Ushul al-Kamsah adalah at-Tauhid(penegsaan Tuhan),
al-‘Adl (keadilan Tuhan), al-Waad waal-wa’id (janji dan ancaman Tuhan),
al-Manzilah bain al-mainzilatain (posisi diantara dua posisi),dan al-‘amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy munkar(menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada
kemunkaran), Yaitu sebgai berikut:
1) At-Tauhid
(pengeasaan Tuhan)
At-Tauhid merupakan prinsip utama
dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya,setiap madzhab teologis dalam Islam
memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, Tauhid memilik arti spesifik.
Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke Maha
Esaan-Nya. Tuhan lah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak ada satupun
yang menyamainya. Oleh karena itu hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari
satu yang Qadim, maka telah menjadi ta’addud al-Qudama( Perbilangannya Dzat
yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keEsaan Tuhan (Tazih) Mu’tazilah
menolak konsep Tuhan memiliki sifat0sifat, menggambarkan fisik Tuhan
(antromorfisme tajassum) dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan itu Esa tak ada satupun yang menyamai-Nya. Dia Maha
Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan sebaginya. Namun, itu semua bukan
sifat Allah, melainkan Dzatnya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang
melekat. Bilasifat Tuhan itu Qadim,maka yang Qadim berarti ada dua, yaitu Dzat
dan Sifat-NYa. Wasil bin Atha’ mengungkapkan “siapa yang mengatakan sifat
yang Qadim, berarti telah menduakan Tuhan”. [5]
2) Al-‘adl
Dasar
keadilan ialah meletakkan pertanggung jawab manusia atas segala perbuatanya.
Golongan Mu’tazilah menafsirkan keadilan
tersebut sebagai berikut:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan,
tidak mencipta perbuatan manusia; manusia bisa mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan meniggalkan larangan-larangan-Nya, karena Qadrat
(kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Iatidak memerintah kecuali
apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang dilrang-Nya. Ia
hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu
(babas dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya”.
Denag dasar
keadilan ini mereka menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia
dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggapsuatu
kedzaliman menjatuhkan siksa kepadanya.
3) Janji
dan Ancaman
Prinsip
ini adalah kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan
Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan
menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah
menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan
siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada
pengampunan terhadap dosa besar tanpa taubat sebagimana tidak meungkin orang
yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Pendapat golongan Mu’tazilah
tersebut merupakan tolak belakang pendapat golongan Murji’ah sebagaimana
ketaatan tidak akan berguna disamping kekafiran. Kalau pendapat ini
diebenarkan, maka ancaman Tuhan tidak aka nada artinya sama sekali, suatu
halyang mustahil ada tidak aka nada artinya sama sekali, suatu hal yang
mustahil ada pada Tuhan.
4) Tempat
di antara Dua Tempat
Prinsip
ini sangat penting yang karenanya Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari Hasan
Basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik,
tidak mu’min tidak pula kafir,tetapi fasik. Jadi kafasikan adalah suatu hal
yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah
orang mu’min dan diatas orang kafir.
Jalan
tengah ini diambilnya dari:
a) Ayat-ayat Qur’an dan Hadis-hadis yang menganjurkan
kita mengambil jalan tangah dalam segala sesuatu.
b) Fikiran-fikiran
Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah: Virtue) ialah jalan
tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
c) Plato
yang mengatakan bahwa adasuatu tempat diantara baik dan buruk.
Golongan
Mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga dijadikannya suatu
prinsip rasionalis-ethis philosphis, yaitu pengambilan jalan tengah antar dua
ujungnya yang berlebih-lebihan.
Golongan
Mu’tazilah membagi maksiat kepada dua bagian, yaitu besar dan kecil. Maksiat
besar dibagi menjadi dua:
Ø Yan
meruska dasar agama, yaitu syirik (mempersekutukan Allah) dan orang yang
mengerjakannya menjadi kafir.
Ø Yang
tidak merusak dasar agama, mengerjakannya bukan lagi orang mu’min. Karena ia melanggar
agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan syahadat.
Karenanya ia menjadi orang fasik.
5) Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip
ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan
kepercayaan atau Tauhid.Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat prinsip ini,
antara lain Surat Ali Imran ayat 104 dan Lukman ayat 17. Prinsipini harus
dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaraan agama dan member petunjuk
kepada orang-orang yang sesat. Sejarah menunjukkan betapa hebatnya golongan
Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan-kesesatan yang tersebar luas
pada permulaan masa Abbasiyah, yang hendak mengahuncrkan kebenaran-kebenaran
Islam, bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan
prinsip tersebut, meskipun terhadap golongan-golongan Islam sendiri, sebagimana
yang pernah dialami golongan-golongan ahli Hadits dalam maslah Qur’an. Menurut
orang Mu’tazilah orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus
dibenarkan. [6]
4. FILSAFAT
MU’TAZILAH
Aliran
Mu’tazilah sedikit demi sedikit menjadi jauh dari tujuan mereka yang bersifat
agama murni dan mulai mengenyampingkan persoalan-persoalan kepercayaan dan ke Tuhanan. Kemudian perhatian
mereka beralih kepada persoalan-persoalan filsafat murni, seperti soal “gerak”
(harkah), “diam” (sukun), “jauhar” , “aradh”, “maujud”, “ma’dum”, dan “bagian
yang tidak dapat dibagi lagi” (atom).
Memang
sinkretisme antara filsafat dan agama serta keasyikan berfilsafat telah
menandai kegiatan-kegiatan orang-orang Mu’tazilah, seluruhnya atau sebagian,
sehingga Steiner (Austria 1861-1925) mengatakan bahwa aliran Mu’tazilah dalam
perkembangan-perkembangannya yang terakhir banyak terpengaruh oleh filsafat
Yunani.
O. Leary
mengatakan bahwa filsafat Yunani telah meninggalkan pengaruh yang besar
terhadap dunia pikir Islam. Karena itu tepatlah apabila aliran Mu’tazilah
dipertalikan dengan filsafat dan
dianggap sebagai filosof-filosof Islam yang
pertama. Jasa mereka terhadap filsafat Islam yang datang kemudian juga besar
karena aliran Mu’tazilah adalah orang Islam yang pertama-tama membuka pintu
filsafat, menerjemahkan buku-bukunya serta meratakan jalan bagi orang-orang
yang datang kemudian.
Untuk lebih mendalami kedudukan aliran Mu’tazilah, sebagai mana yang
diuraikan diatas, berikut ini akan dibicarakan pikiran-pikiran mereka dalam
berbagai persoalan.
A. SINKRETISME
AGAMA
Ajaran agama mengatakan bahwa alam
semesta ini baru dan diadakan oleh Tuhan dari “tiada”, sedang filsafat
mengatakan bahwa alam semesta ini qadim (eternal) yang akan selalu ada dan
tidak mungkin sesuatu terjadi dari “tiada”. Orang Mu’tazilah mendapati dua
ajran ini berlawanan, kemudian mereka berusaha mempertemukannya.
“sebagian dari akal-pikiran diciptakan
untuk membiasakan mengetahui lingkungan kebendaan ini akal pikiran tersebut
mendapatkan kebanyakan gambarannya”.
Otak yang besar sekalipun,
seperti Aristoteles, tidak bisa melepaskan diri dari keadaan tersebut, sehingga
waktu ia menafsirkan timbulnya alam, ditafsirkannya seperti ia menafsirkan keluarnya
sesuatu perkakas, meja umpamanya, yang dibuat orang dari bahan tertentu,
menurut bentuk tertentu untuk tujuan tertentu pula.
Usaha pemaduan antara agama dan filsafat
dan pengambilan jalan tengah merupakan rintisan datang sesudahnya. Sejarah
dunia piker Islam menunjukkan bahwa setelah kegiatan Mu’tazilah berakhir, maka
karya pikiran tersebut dilanjutkan oleh golongan filosof murni, seperti
Ichwanussafa, Ibnu Sina, dan seterusnya, yang kesemuanya telah menemouh jalan
sinkretisme antara nas-nas agama dengan filsafat, sebagiaman juga dilanjutkan
oleh Imam al Asy’ari yang dalam pikirannya mengambil jalan tengah antara paham
Mu’tazilah dengan aliran ahli hadis. Bahkan sangat mungkin, aliran Mu’tazilah
dengan karyanya itu telah menaburkan benih bagi filsafat dialektika dari Hegel,
terkenal denagn Theis, anti theis dan synthis.
الفكر قبل ورود الشرع
Karena orang-orang Mu’tazilah
asyik mempelajari filsafat dan banyak pula terpengaruh oleh pikiran-pikirannya,
maka mereka pecaya akan kekuatan dan kesanggupan otak manusia untuk mengetahui
segala sesuatu dan memperbandingkan satu sana lain, dan salah satu hasilnya
ialah hokum pedoman mereka yang terkenal, yaitu:
“al-fikru
qabla wurudis syar’i”
(Akal
pikiran sebelum datang syar’i)
Maksudnya, akal pikiran harus
didahulukan daripda syara’. Karena itu semua aliran Mu’tazilah sepakat
pemdapatnya bahwa sebelum datang syara’, orang yang berakal dengan akalnya
seburuk, dan lebih dari itu lagi akal bisa mengetahui, maka ia akan mendapat
siksa selama-lamanya.
Akan tetapi orang-orang Mu’tazilah
kemudian berbeda tentang sampai di mana pengahargaan mereka terhadap kemapuan
akal. Menurut an-Nazzham, sebelum datang syara’ seseorang yang berakal dapat
encapai atau proses pemikiran dan renungan-Jadi a posteriori-.[7]
B. FILSAFAT PHYSIKA
Pembicaraan disini di bagi 3,
yaitu:
1)
Materi alam
(maddah)
Filsafat golongan Mu’tazilah dalam soal physika didasarkan atas dua prinsip
utama, yaitu ke Esaan dan Keadilan Tuhan.
2)
Bagian-bagian
alam
Menurut Aristoteles benda terdiri dari dua bagia, yaitu hule (mater) dan
form (bentuk). Sedangkan menurut aliran Mu’tazilah benda itu terdiri dari
bagian-bagian kecil yang tidak dapat di bagi-bagi lagi (jauhar dan fard atau
atom).
3)
Gerak
Kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya gerak pada sesuatu yang masih tiada.
Gerak tersebut baru dimiliki sesuatu sesudah ia lahir dalam wujud.[8]
C. MANUSIA
Menurut Mu’tazilah manusia
merupakan salah satu bagian dari alam
semasta. Akan tetapi tabiatnya lain dri pasda tabiat benda-benda, karena ia
terdiri dari jiwa dan badan. Diantara orang-orang Mu’tazilah ada yang
mengatakan bahwa pertemuan jiwa dengan badan adalah pertemuan arald dan jauhar.
Ada pula yang mengatakan bahwa pertemuan itu ialah peretemuan jauhar dan
jauhar.
D. POLITIK
Aliran Mu’tazilah mengemukakan
pendapatnya tentang beberapa soal dan peristiwa politik yang terjadi dalam
sejarah Islam. Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan corak kebebasan dan
keberanian mereka dalam berpikir menganalisa dan mengkritik.
ü Tentang keharusan adanya Imamah.
ü Lebih mengutamakan Ali daripada Abu Bakar sebagai
Khalifah.[9]
E. AKAL
SEBAGAI ALAT HUBUNGAN TIMBAL BALIK DENGAN TUHAN
Manusia mempunyai akal, dan akallah yang
membuat manusia berbeda dengan hewan. Nabi , kata Muh. Abduh, menarik perhatian
manusia, antara lain, keapda kenyataan bahwa manusialah satu-satunya makhluk
yang diberi Tuhan kekuatan akal karena itulah ia menjadi mulia. Dan kalau dari
manusia dicabut akalnya, manusia akan menjadi makhluk lain, mungkin malaikat,
dan mungkin hewan.
Akal mempunyai daya yang kuat. Akal
dapat mengetahui adanya Tuhan dan kehidupan di sebalik hidup dunia. Akal dapat
sampai kepada pengetahuan yang lebih tinggi. Manusia melalui akalnya, kata Muh
Abduh, dapt mengetahui bahwa berterimaksih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa
kebajikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan dasar kesengasaraan di
akhirat.
Kalau penciptaan hayat intuisi dan wahyu
merupakan hubungan dari atas kebawah, dari Tuhan ke alam, maka akallah yang
membentuk hubungan sebaliknya, hubungan dari bawah keatas, dari alam ke Tuhan.
Karena dari seluruh makhluk Tuhan hanya manuisalah yang dapat mengadakan
hubungan makhluk Khaliq, hubungan dari alam ke Tuhan. Dan dengan demikian hanya
manusialah yang mempunyai hubungan dau arah denagn Allah, dalam bentuk wahyu
yang turun dari Tuhan ke alam dari bentuk pemikiran akal yang naik dari alam ke
Tuhan.[10]
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas pemakalah menyimpulkan sebagi berikut:
1. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad
kedua hijrah di kota Basrah, pusat Ilmu dan peradaban Islam itu, tempat
perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
2.
Adapun
tokoph-tokoh Mu’tazilah adalah:
a. Wasil bin ‘Atha Al- Ghazzal
b. Abu al Huzail al-Allaf
c. Ibarahim bin Sayyar an-Nazzam
d. Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay
e. Bisyr bin Al-Mu’tamir
f. Jahiz Amr bin Bahr
3.
Ajaran-ajaran
golongan Mu’tazilah ialah:
a. Tauhid (pengesaan)
b. Al ‘adl (keadilan)
c. Wa’d wal Wa’id (janji ancaman)
d. Al-manzilah baina
al-Mainzilatain (temapt diantara dua tempat)
e. Amar ma’ruf Nahi
Munkar (perintah kebaikan dan melarang kejahatan)
4.
Sedangkan
Filsafat aliran Mu’tazilah adalah:
a. Sinkritisme agama
b. Filsafat Physika
c. Manusia
d. Politik
e. Akal sebagai alat hubungan timabal balik antara Tuhan.
E.PENUTUP
Demikainlah makalah yang dapat kami sampaikan,
semoga dapat memberi manfaat, dan wawasan bagi kita semua, bagi para pembaca
umumnya dan pemakalah khususnya. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapakan demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
H
Samith ‘Atif Al-Zayn, Al-Islam Wa Idiyulujiyah Al-Insan, Bierut, Lubnan:
Daar al-Kitab al-lubnani, 1982.
Ahmad Hanafi,
M.A, Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Ahmad
Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, Kairo, 1969.
Abi Al-Fath
Muhammad Adb Al-Karim Asy-Syahrastani.Al-Milal Wa an-Nihal. Bairut:Daar
al-fikr.
A. Hanafi,
Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Harun Nasutioan,
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: Universitas Indonesia,
1987.
[1] h Samith ‘Atif
Al-Zayn, Al-Islam Wa Idiyulujiyah Al-Insan, Bierut, Lubnan: Daar al-Kitab al-lubnani, 1982, hal. 66
[2] Ahmad Hanafi, M.A, Theology
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 39-40
[3] Ahmad Mahmud Subhi, Fi
‘ilm Al-Kalam, Kairo, 1969, hal. 76
[4] Op.cit, hal. 53-56
[5] Abi Al-Fath Muhammad
Adb Al-Karim Asy-Syahrastani.Al-Milal Wa an-Nihal. Bairut:Daar al-fikr. Hal.46
[6] Ahmad Hanafi,
loc.cit, hal.42-45
[7] A. Hanafi,
Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995, hal. 81-84
[9],.Op.cit,
hal.85-99.
[10] Harun Nasutioan,
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: Universitas Indonesia,
1987, hal 33-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar