Selasa, 28 Mei 2013

makalah tauhid



BAB I
A.PENDAHULUAN
        Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi umat manusia dengan Allah, sesamanya dan dirinya sendiri.[1]Manusia yang membentuk kesatuan politik, yang diikat oleh aqidah system yang sama disebut umat dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa umat islam merupakan akumulasi manusia yang membentuk kesatuan politik, meskipun terdir dari berbagai bangsa, etnik dan bahasa yang berbeda.
      Sejarah umat islam dimulai dari sejarah Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT di Mekkah dengan tujuan untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat, yang menjadi pedoman hidup dan petunjuk menuju jalan kebenaran dengan syari’at yang telah ditentukan Allah dalam Firman-Nya (Al-Qur’an).
     Namun akibat dari kelemahan akal daya manusia yang kurang mampunya memahami ajaran atau aqidah Islam yang telah diajarakan oleh Rasulullah secara utuh serta tingkatan keimanan dan kefahaman seseorang yang berbeda, mengakibatkan tokoh-tokoh Islam yang juga merupakan kumpulan orang-orang soleh sebagai panji-panjinya Islam, ikut terjembab kedalam lubang perpecahan dan perdebatan dalam Islam. Dan Islam sendiri yang dahulunya diibartkan tubuh yang satu, kini mulai berpecah belah, saling menghujat antara satu dengan yang lain, saling membunuh  demi memperebutkan kekuasaan, dan demi membenarkan argument masing-masing dalam masalah aqidah, pemikiran, serta keyakinan suatu ajaran dalam peribadatan yang akhirnya memunculkan aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan bersebrangan dan merupakan awal dari munculnya Ilmu Teologi, Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid dan Filsafat Islam yang mebahas tentang faham aliran-aliran dalam Islam. Perdebatan dalam lingkup aqidah Islam bahkan perdebaatan tentang ketauhidan Allah beserta sifat-sifat-Nya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah sejarah lahirnya aliran Mu’tazilah dan penamannya?
2. Siapakah Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?
3. Bagaimanakah ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah?
4. Bagaimanakah Filsafat Mu’tazilah?




BAB II
ALIRAN MU’TAZILAH
1.      Sejarah lahirnya Aliran Mu’tazilah dan penamannya
Aliran Mu’tazilah adalah aliran fikiran Islam yang tertua dan terbesar, yang telah memainkan peranan yang sangat penting . Orang yang hendak megetahui Filsafat Islam yang sesungguhnya dan yang behubungan dengan agama dan sejarah pemikiran Islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang orang-orang Mu’tazilah, bukan yang dikarang oleh orang-orang yang lazim disebut Filosofis-filosofis Islam, seperti Ibnu Sina dan lain-lain.
Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan Teologi yang lebih mendalam dan lebih bersifat filosofis dari pada persoalan yanf dibawa oleh golongan Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahsan, mereka lebih menggunakan akal sehingga mereka mendapat julukan” kaum rasioanal islam”.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrah di kota Basrah, pusat Ilmu dan peradaban Islam itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
1.      Asal- usul nama Mu’tazilah
Nama “Mu’tazilah” bukan ciptaan orang-orang Mu’taziloah sendiri, tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Mu’tazilah menamakan dirinya “Ahli keadilan dan Keesaan” (ahlul adll wat tauhid). Nama “Mu’tazilah” diberikan karena:
a.       Orang-orang Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian ummat, karena mereka (orang-orang Mu’tazilah) mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukin tidak pula kafir.
b.      Wasil bin Ata’, pendiri aliran Mu’tazilah, berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu Hasan Basri, dalam soal tersebut diatas, yang karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian Hasan Basri berkata : “Wasil telah memisahkan diri dari kami”. Sejak saat itu maka Wasil dan teman-temannya disebut “golongan yang memisahkan diri” (Mu’tazilah).
c.       Ahmad Amin dalam bukunya (Fajar Islam1/344) berpendapat bahwa yang mula-mula memberikan nama Mu’tazilah adalah orang-orang Yahudi, seperti diketahui, sepulang mereka dari tawanan di Siria (perang Maccabea melawan Anthiochus IV, raja Siria, abad empat atau ketiga sebelum lahir Isa) timbullah diantara mereka golongan Yahudi “PHAIRISEE”  yang artinya “memisahkan diri”  (dari bahasa Ibrani, parash; to separate). Maksud ebutan ini tepat sekali dipakaii untuk ornag-orang Mu’tazilah. Selain itu pendapat golongan Yahudi Phairisee mirip dengan golongan Mu’tazilah, yaitu bahwa semua perbuatan bukan Tuhan yang megadakannya.
Akan tetapi pendapat terkhir ini kurang tepat, karena motif berdirinya golongan Phairisee berlainan dengan motif berdirinya golongan Mu’tazilah.[2]
·         Al mas’udi memberi keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah sebab pendapat mereka bahwa oaring yang berdosa besar termasuk orng mukmin mauopun kafir, tetapi diantara keduanya (al manzlatu bainal manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan orang mukmin dan kafir. Mereka fasiq dan nantinya akan masuk kedalam neraka untuk selama-lamanya.[3]
2.      Suasana Lahirnya Mu’tazilah
        Sejak Islam meluas, banyklah bangsa-bangsa yang masuk Islam untuk hidup dibawah naungannya. Akan tetapi tidak semuanya memeluk dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak zaman Mu’awiyah, karena mereka telah memonopoli segala kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam, sumber keagungan dan kekuatan mereka.
     Diantara musush-musuh Islam dari dalam ialah penggolongan Rafidh, yaitu golonga syi’ah ekstrim yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang jauh sam sekali dari ajaran islam, seperti kepercayaan yang jauh sama sekali dari pada waktu itu tersebar luas di kota-kota Kuffah dan Basrah juga golongan Tasawuf inkarnasi termasuk musuh Islam.
                Dalam keadaan demikian itulah muncul golongan Mu’tazilah yang berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai system atau metode dan pendapat-pendapatnya sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang mu’tazilah namun mereka sendiri sering-sering terpengaruh oleh golongan-golongan tersebut karena pendapat dan fikiran selalu bekerja, terhadap lawan maupun kawan, baik menerima atau membantah bahkan sering-sering masuk kepada lawannya tanpa di kehendaki atau disengaja.
            Golongan-golongan yang  mempengaruhi aliran Mu’tazilah antara lain orang-orang yahudi (misalnya dalam soal baharunya Qur’an) dan orang-orang Masehi, seperti Saint John of Damascus (676-749) yang terkenal dengan nama Ibnu Sarjun, Tsabit di Qurroh (836-901) murid John tersebut dan Kusto bin Lucas (820-921).
Dari John of  Damascus diambil teori yang mengatakan bahwa tuhan adalah dzat yang baik menjadi sumber segala kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan, Tuhan mempunyai sifat-sifat yang bisa yang menimbulkan pengertian bilangan gambaran-gambaran yang digunakan oleh kitab suci ketika membicarakan Tuhan hanyalah sebagai lambang belaka, agar manusia dapat mudah memahamigan akal fikirannya:manusia bebas berbuat dan memilih, yang karenanya ia dpt dimintai pertanggung jawaban.den
      Dari Tsabit bin Qurroh diambil teori pemujaan kekuatan akal; dengan akal fikiran semata-mata manusia dapat mengetahui adanya Tuhan; dengan akal pikirannya pula ia dapat mengetahui baik dan buruk; dan dari Tsabit pula diambil cara-cara pembenaran agama dengan alas an-alasan fikiran.
     Orang-orang Mu’tazilah dengan giatnya mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya dan ajaran-ajaran Islam.
2.      Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Tokoh-tokoh Mu’tazilah banyak sekali. Tetapi sebagian saja yang disebutkan, yaitu yang nampak jelas peranannya dalam perkembangan aliran Mu’tazilah, baik berupa buah fikiran maupun usaha lainnya.
a.      Wasil bin ‘Atha al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah dan yang meletakkan ajaran-ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan-golongan Mu’tazilah. Kebanyak pendapat-pendaptnya belum matang.
b.      Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H. atau753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Basrah. Ia mempelajari buku-buku Yunani dn banyak terpengaruh denagn buku-buku itu. Karena dialah aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya antara lain:
1)      Tentang Aradl; dinamakan aradl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak ardl yang terdapat bukan pada benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada ardl yang abadi dan ada aradl yang tidak abadi.
2)      Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom).
3)       Gerak dan diam; Benda yang banyak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut Mutakallimin, hanya itu sendiri yang bergerak.
4)      Hakekat manusia; hakekatnya adalah badannya, bukan jiwanya (nafs atau rukh).
5)      Gerak penghuni surga dan neraka; Gerak-gerik mereka akan berakhir dan menjadi ketenangan (diam). Di dalam ketenangan ini terkumpul semua kesenangan dan siksaan.
6)      Qadar; manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatan-nya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada tidak berkuasa lagi.
7)       Kahabar tentang sesuatu yang dapat dicapai panca indra hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-kurangnya, seorang diantaranya dari ahli sorga (maksudnya golongan Mu’tazilah).
c.       Ibrahim bin Sayyar an-Nazam (wafat 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abu Huzail al-Allaf, orang terkemuka, lancer berbicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Ketika kecilnya, ia banyak bergaul dengan orang0orang bukan dari golongan Islam, dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-ilosof masanya. Beberapa pendapatnya berlaianan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya. Pendapat-pendapatnya adalah:
1)      Tentang benda (jisim), selain gerak, semua yang ada disebut jisim, termasuk warna, bau dsb.
2)      Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi-bagi. Ia megatakan bahwa sesuatu bagian bagaimana pun kecilnya dapat dibagi-bagi. (boleh jadi benarbisa dibagi dalam fikiran).
3)      Teori lompatan (thafrah).
4)      Tidak ada diam (interest),..Diam hanyalah istilah bahasa opada hakikatnya semua yang ada bergerak (bandingkan dengan Heracleuitus).
5)      Hakekat manusia; hakekatnya adalah jiwanya, bukan badanya, seperti pendapat al-Allaf. Badan hanyalah alat saja. Juga ia mengatakan bahwa bahwa badan itu adalah penjara jiwa, kalau lepas dari badan akan kembalia ke alamnya. (bandingkan dengan pendapat Platinus) .
6)      Berkumpulnya contradictie dalam suatu tempat, menunjukkkan adanta Tuhan.
7)      Teori sembunyi (kumun)
Semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang sama. Karena itu sebenarnya Nabi Adam tidak lebih dahulu dari anak-anak, demikian pula seorang ibu tidak lebih dahulu dari pada anaknya. Lebih dauhulu atau kemudian hanyalah dalam lahir ke dunia saja, bukan dalam asal-usul kejadiannya.
8)      Berita yang benar ialah yang diriwayatkan oleh Imam yang Ma’sum.
9)      I’jaz Qur’an (daya pelemah) terletak dalam pemberitaan hal-hal yang ghaib .
d.      Mu’mar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H atau 835 M)
Banyak terpengaruh dengan filosof-filosof , terutama tentang sifat Tuhan.
e.       Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H atau 840 M)
Pendapatnya antara lain, siapa yang taubat dari sesuatu dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksamyang pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak mengulangi lagi. Dengan perkataan lain, siksanya akan berlipat ganda.

f.        Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H atau 808 M)
Ia terkenal tajam dengan penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam. Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kesusastraan.[4]
3.      Ajaran-ajaran Faham Mu’tazilah (Al-Ushul Al-Kamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazila)
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul al-Kamsah adalah at-Tauhid(penegsaan Tuhan), al-‘Adl (keadilan Tuhan), al-Waad waal-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah bain al-mainzilatain (posisi diantara dua posisi),dan al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahy munkar(menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemunkaran), Yaitu sebgai berikut:
1)      At-Tauhid (pengeasaan Tuhan)
At-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya,setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, Tauhid memilik arti spesifik. Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke Maha Esaan-Nya. Tuhan lah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang Qadim, maka telah menjadi ta’addud al-Qudama( Perbilangannya Dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keEsaan Tuhan (Tazih) Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat0sifat, menggambarkan fisik Tuhan (antromorfisme tajassum) dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa tak ada satupun yang menyamai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan sebaginya. Namun, itu semua bukan sifat Allah, melainkan Dzatnya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bilasifat Tuhan itu Qadim,maka yang Qadim berarti ada dua, yaitu Dzat dan Sifat-NYa. Wasil bin Atha’ mengungkapkan “siapa yang mengatakan sifat yang Qadim, berarti telah menduakan Tuhan”. [5]
2)      Al-‘adl
Dasar keadilan ialah meletakkan pertanggung jawab manusia atas segala perbuatanya.
 Golongan Mu’tazilah menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia; manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meniggalkan larangan-larangan-Nya, karena Qadrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Iatidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang dilrang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (babas dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya”.
Denag dasar keadilan ini mereka menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggapsuatu kedzaliman menjatuhkan siksa kepadanya.
3)      Janji dan Ancaman
Prinsip ini adalah kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap dosa besar tanpa taubat sebagimana tidak meungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut merupakan tolak belakang pendapat golongan Murji’ah sebagaimana ketaatan tidak akan berguna disamping kekafiran. Kalau pendapat ini diebenarkan, maka ancaman Tuhan tidak aka nada artinya sama sekali, suatu halyang mustahil ada tidak aka nada artinya sama sekali, suatu hal yang mustahil ada pada Tuhan.
4)      Tempat di antara Dua Tempat
Prinsip ini sangat penting yang karenanya Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mu’min tidak pula kafir,tetapi fasik. Jadi kafasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mu’min dan diatas orang kafir.
Jalan tengah ini diambilnya dari:
a)       Ayat-ayat Qur’an dan Hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil jalan tangah dalam segala sesuatu.
b)      Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah: Virtue) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
c)      Plato yang mengatakan bahwa adasuatu tempat diantara baik dan buruk.
Golongan Mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga dijadikannya suatu prinsip rasionalis-ethis philosphis, yaitu pengambilan jalan tengah antar dua ujungnya yang berlebih-lebihan.
Golongan Mu’tazilah membagi maksiat kepada dua bagian, yaitu besar dan kecil. Maksiat besar dibagi menjadi dua:
Ø  Yan meruska dasar agama, yaitu syirik (mempersekutukan Allah) dan orang yang mengerjakannya menjadi kafir.
Ø  Yang tidak merusak dasar agama, mengerjakannya bukan lagi orang mu’min. Karena ia melanggar agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan syahadat. Karenanya ia menjadi orang fasik.
5)      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan kepercayaan atau Tauhid.Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat prinsip ini, antara lain Surat Ali Imran ayat 104 dan Lukman ayat 17. Prinsipini harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk penyiaraan agama dan member petunjuk kepada orang-orang yang sesat. Sejarah menunjukkan betapa hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiyah, yang hendak mengahuncrkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap golongan-golongan Islam sendiri, sebagimana yang pernah dialami golongan-golongan ahli Hadits dalam maslah Qur’an. Menurut orang Mu’tazilah orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan. [6]

4.      FILSAFAT MU’TAZILAH
Aliran Mu’tazilah sedikit demi sedikit menjadi jauh dari tujuan mereka yang bersifat agama murni dan mulai mengenyampingkan persoalan-persoalan kepercayaan dan ke Tuhanan. Kemudian perhatian mereka beralih kepada persoalan-persoalan filsafat murni, seperti soal “gerak” (harkah), “diam” (sukun), “jauhar” , “aradh”, “maujud”, “ma’dum”, dan “bagian yang tidak dapat dibagi lagi” (atom).
Memang sinkretisme antara filsafat dan agama serta keasyikan berfilsafat telah menandai kegiatan-kegiatan orang-orang Mu’tazilah, seluruhnya atau sebagian, sehingga Steiner (Austria 1861-1925) mengatakan bahwa aliran Mu’tazilah dalam perkembangan-perkembangannya yang terakhir banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani.

O. Leary mengatakan bahwa filsafat Yunani telah meninggalkan pengaruh yang besar terhadap dunia pikir Islam. Karena itu tepatlah apabila aliran Mu’tazilah dipertalikan  dengan filsafat dan dianggap sebagai filosof-filosof  Islam yang pertama. Jasa mereka terhadap filsafat Islam yang datang kemudian juga besar karena aliran Mu’tazilah adalah orang Islam yang pertama-tama membuka pintu filsafat, menerjemahkan buku-bukunya serta meratakan jalan bagi orang-orang yang datang kemudian.
Untuk lebih mendalami kedudukan aliran Mu’tazilah, sebagai mana yang diuraikan diatas, berikut ini akan dibicarakan pikiran-pikiran mereka dalam berbagai  persoalan.
A.    SINKRETISME AGAMA
Ajaran agama mengatakan bahwa alam semesta ini baru dan diadakan oleh Tuhan dari “tiada”, sedang filsafat mengatakan bahwa alam semesta ini qadim (eternal) yang akan selalu ada dan tidak mungkin sesuatu terjadi dari “tiada”. Orang Mu’tazilah mendapati dua ajran ini berlawanan, kemudian mereka berusaha mempertemukannya.
“sebagian dari akal-pikiran diciptakan untuk membiasakan mengetahui lingkungan kebendaan ini akal pikiran tersebut mendapatkan kebanyakan gambarannya”.

Otak yang besar sekalipun, seperti Aristoteles, tidak bisa melepaskan diri dari keadaan tersebut, sehingga waktu ia menafsirkan timbulnya alam, ditafsirkannya seperti ia menafsirkan keluarnya sesuatu perkakas, meja umpamanya, yang dibuat orang dari bahan tertentu, menurut bentuk tertentu untuk tujuan tertentu pula.
      Usaha pemaduan antara agama dan filsafat dan pengambilan jalan tengah merupakan rintisan datang sesudahnya. Sejarah dunia piker Islam menunjukkan bahwa setelah kegiatan Mu’tazilah berakhir, maka karya pikiran tersebut dilanjutkan oleh golongan filosof murni, seperti Ichwanussafa, Ibnu Sina, dan seterusnya, yang kesemuanya telah menemouh jalan sinkretisme antara nas-nas agama dengan filsafat, sebagiaman juga dilanjutkan oleh Imam al Asy’ari yang dalam pikirannya mengambil jalan tengah antara paham Mu’tazilah dengan aliran ahli hadis. Bahkan sangat mungkin, aliran Mu’tazilah dengan karyanya itu telah menaburkan benih bagi filsafat dialektika dari Hegel, terkenal denagn Theis, anti theis dan synthis.
الفكر قبل ورود الشرع
Karena orang-orang Mu’tazilah asyik mempelajari filsafat dan banyak pula terpengaruh oleh pikiran-pikirannya, maka mereka pecaya akan kekuatan dan kesanggupan otak manusia untuk mengetahui segala sesuatu dan memperbandingkan satu sana lain, dan salah satu hasilnya ialah hokum pedoman mereka yang terkenal, yaitu:

“al-fikru qabla wurudis syar’i”
(Akal pikiran sebelum datang syar’i)

Maksudnya, akal pikiran harus didahulukan daripda syara’. Karena itu semua aliran Mu’tazilah sepakat pemdapatnya bahwa sebelum datang syara’, orang yang berakal dengan akalnya seburuk, dan lebih dari itu lagi akal bisa mengetahui, maka ia akan mendapat siksa selama-lamanya.
      Akan tetapi orang-orang Mu’tazilah kemudian berbeda tentang sampai di mana pengahargaan mereka terhadap kemapuan akal. Menurut an-Nazzham, sebelum datang syara’ seseorang yang berakal dapat encapai atau proses pemikiran dan renungan-Jadi a posteriori-.[7]


B.     FILSAFAT PHYSIKA
Pembicaraan disini di bagi 3, yaitu:
1)      Materi alam (maddah)
Filsafat golongan Mu’tazilah dalam soal physika didasarkan atas dua prinsip utama, yaitu ke Esaan dan Keadilan Tuhan.
2)      Bagian-bagian alam
Menurut Aristoteles benda terdiri dari dua bagia, yaitu hule (mater) dan form (bentuk). Sedangkan menurut aliran Mu’tazilah benda itu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat di bagi-bagi lagi (jauhar dan fard atau atom).
3)      Gerak
Kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya gerak pada sesuatu yang masih tiada. Gerak tersebut baru dimiliki sesuatu sesudah ia lahir dalam wujud.[8]
C.     MANUSIA
Menurut Mu’tazilah manusia merupakan  salah satu bagian dari alam semasta. Akan tetapi tabiatnya lain dri pasda tabiat benda-benda, karena ia terdiri dari jiwa dan badan. Diantara orang-orang Mu’tazilah ada yang mengatakan bahwa pertemuan jiwa dengan badan adalah pertemuan arald dan jauhar. Ada pula yang mengatakan bahwa pertemuan itu ialah peretemuan jauhar dan jauhar.

D.    POLITIK
Aliran Mu’tazilah mengemukakan pendapatnya tentang beberapa soal dan peristiwa politik yang terjadi dalam sejarah Islam. Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan corak kebebasan dan keberanian mereka dalam berpikir menganalisa dan mengkritik.
ü  Tentang keharusan adanya Imamah.
ü  Lebih mengutamakan Ali daripada Abu Bakar sebagai Khalifah.[9]

E.     AKAL SEBAGAI ALAT HUBUNGAN TIMBAL BALIK DENGAN TUHAN
Manusia mempunyai akal, dan akallah yang membuat manusia berbeda dengan hewan. Nabi , kata Muh. Abduh, menarik perhatian manusia, antara lain, keapda kenyataan bahwa manusialah satu-satunya makhluk yang diberi Tuhan kekuatan akal karena itulah ia menjadi mulia. Dan kalau dari manusia dicabut akalnya, manusia akan menjadi makhluk lain, mungkin malaikat, dan mungkin hewan.
Akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kehidupan di sebalik hidup dunia. Akal dapat sampai kepada pengetahuan yang lebih tinggi. Manusia melalui akalnya, kata Muh Abduh, dapt mengetahui bahwa berterimaksih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa kebajikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan dasar kesengasaraan di akhirat.
Kalau penciptaan hayat intuisi dan wahyu merupakan hubungan dari atas kebawah, dari Tuhan ke alam, maka akallah yang membentuk hubungan sebaliknya, hubungan dari bawah keatas, dari alam ke Tuhan. Karena dari seluruh makhluk Tuhan hanya manuisalah yang dapat mengadakan hubungan makhluk Khaliq, hubungan dari alam ke Tuhan. Dan dengan demikian hanya manusialah yang mempunyai hubungan dau arah denagn Allah, dalam bentuk wahyu yang turun dari Tuhan ke alam dari bentuk pemikiran akal yang naik dari alam ke Tuhan.[10]

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas pemakalah menyimpulkan sebagi berikut:
1.      Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrah di kota Basrah, pusat Ilmu dan peradaban Islam itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
2.      Adapun tokoph-tokoh Mu’tazilah adalah:
a.       Wasil bin ‘Atha Al- Ghazzal
b.      Abu al Huzail al-Allaf
c.       Ibarahim bin Sayyar an-Nazzam
d.      Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay
e.       Bisyr bin Al-Mu’tamir
f.       Jahiz Amr bin Bahr
3.      Ajaran-ajaran golongan Mu’tazilah ialah:
a.       Tauhid (pengesaan)
b.      Al ‘adl (keadilan)
c.       Wa’d wal Wa’id (janji ancaman)
d.      Al-manzilah  baina al-Mainzilatain (temapt diantara dua tempat)
e.       Amar ma’ruf  Nahi Munkar (perintah kebaikan dan melarang kejahatan)
4.      Sedangkan Filsafat aliran Mu’tazilah adalah:
a.       Sinkritisme agama
b.      Filsafat Physika
c.       Manusia
d.      Politik
e.       Akal sebagai alat hubungan timabal balik antara Tuhan.

E.PENUTUP
Demikainlah makalah yang dapat kami sampaikan, semoga dapat memberi manfaat, dan wawasan bagi kita semua, bagi para pembaca umumnya dan pemakalah khususnya. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapakan demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

H Samith ‘Atif Al-Zayn, Al-Islam Wa Idiyulujiyah Al-Insan, Bierut, Lubnan: Daar  al-Kitab al-lubnani, 1982.
Ahmad Hanafi, M.A, Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, Kairo, 1969.
Abi Al-Fath Muhammad Adb Al-Karim Asy-Syahrastani.Al-Milal Wa an-Nihal. Bairut:Daar al-fikr.
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Harun Nasutioan, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987.


[1] h Samith ‘Atif Al-Zayn, Al-Islam Wa Idiyulujiyah Al-Insan, Bierut, Lubnan: Daar  al-Kitab al-lubnani, 1982, hal. 66
[2] Ahmad Hanafi, M.A, Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 39-40
[3] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, Kairo, 1969, hal. 76
[4] Op.cit, hal. 53-56
[5] Abi Al-Fath Muhammad Adb Al-Karim Asy-Syahrastani.Al-Milal Wa an-Nihal. Bairut:Daar al-fikr. Hal.46
[6] Ahmad Hanafi, loc.cit, hal.42-45
[7] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995, hal. 81-84
[8] ,.Op.cit, hal.48-52.
[9],.Op.cit, hal.85-99.
[10] Harun Nasutioan, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987, hal 33-34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar