Selasa, 28 Mei 2013

makalah filsafat islam



A.    PENDAHULUAN 
Mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat.Filsafat dilahirkan karena kemenangan akal atas dongeng-dongeng atau mite-mite yang diterima agama,yang memberitahukan asal mula segala sesuatu,baik dunia maupun manusia.Akal manusia tidak puas dengan dongeng-dongeng atau mite-mite itu, karena tidak dapat dibuktikan oleh akal,kebenarannya hanya dapat diterima oleh iman dan kepercayaan. Para filusuf yang pertama adalah orang-orang yang mulai meragukan cerita mite-mite dan mulai mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu. Sudah barang tentu kemenagan akal atas mite-mite itu tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Kemenangan itu diperoleh secara berangsur-angsur.
Awal pergumulan akal itu dengan mite-mite itu terjadi pada kir-kira abad ke-6 SM.Contoh Xenophanes mengemukakan pendapatnya bahwa pelangi itu adalah awan,sedang Anaxagoras berpendapat, bahwa pelangi itu adalah pemantulan matahari pada awan. Jelaslah bahwa pendapat kedua ini bukan karena mite,tapi melainkan karena penggunaan akal, yang mendekati gejala pelangi dengan pemikirannya . Pendekatan yang rasional demikian itu menghasilkan suatu pendapat yang dapat di control,dapat diteliti akal diperdebatkan kebenarannya. Cara berfikir yang demikian inilh cara berfilsafat.
Para pemikir pertama filsafat yang pertama hidup di Milietos, kira-kira pada abad ke-6 SM.Bagaimana persisnya ajaran mereka, sukar ditetapkan, sebab sebelum Plato tidak ada hasil karya para filusuf itu yang telah seutuhnya di bukukan. Pengetahuan  kita tentang apa yang mereka pikirkan, disimpulkan dari potongan-potongan, yang diberitahukan oleh orang-orang yang hidup lebih kemudian dari pada mereka.Jadi pemikiran para ahli filusuf mereka dicurahkan kepada apa yang diamati.
Agama merupakan sistem yang mengatur tata keagamaan dan peribadatan kepada Tuhan serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungan.[1] Zoroastrianisme adalah Agama Persia kuno yang mengajarkan bahwa segala yang ada terlibat dalam perebutan yang tak henti-hentinya antara dewa kebaikan dan dewa kejahatan.[2]  Zoroastrianisme berlandaskan pada ajaran Zarathusta. Kelahiran Zarathusta diperkirakan pada rentan waktu yang cukup panjang antara tahun 1200 dan 600 SM. Dewasa ini pengkutnya berkisar 200.000 orang. Domisili terbanyak terdapat di daerah India dan Iran.[3]

B.     B.Rumusan Masalah
  1. Apa itu Filsafat Yunani dan bagaimana sejarahnya?
  2. Apa itu Filsafat Arab dan bagaimana sejarahnya?
  3. Apa itu Filsafat Persia dan bagaimana sejarahnya?

C.    Pembahasan
1.      Filsafat Persia
            Zoroaster adalah seorang imam pengajar. Ajarannya diabadikan dalam 17 puji-pujian yang disebut Gatnas.[4]  Puji-pujian yang diabadikan tersebut, tertulis dalam bentuk puisi-puisi yang hanya dimengerti oleh sebagian orang, sehingga sulit untuk di terjemahkan. Penganut Zoroastrianisme beribadat kepada Ahura Mazda di dalam “kuil api”. Kuil api sendiri artinya sebuah tempat dimana api terus menyala sebagai lambang dewa.
Zoroastrianisme menekankan peran Ahura Mazda, sebagai pencipta yang baik tanpa ada kejahatan di dalamnya. Dengan kata lain Zoroastrianisme mengajarkan kebaikan dan kejahatan memiliki sumber-sumber yang berbeda. Di sini sang penciptaan Mazda menjadi pelindung atas kejahatan yang berusaha menghancur-kan. Teks yang paling penting dari agama ini adalah dari Avesta.
Zoroastrianisme merupakan ajaran yang sangat kuno, dalam masyarakat Irak. Ajaran ini disebut juga sebagai agama nasional Irak selama berabad-abad sebelum terpinggirkan oleh agama Islam pada abad ke-7.[5] Sebutan untuk pengikut ajaran ini disebut juga dalam bahasa Inggris, yakni Zoroaster, Zarathustrian atau Behdin, yang berarti pengikut Daena.
  1. Keberadaan, Perkembangan Zoroastrianisme
Zoroastrianisme merupakan salah satu ajaran tertua yakni sekitar awal milenium pertama SM. Sejarah Herodotus (akhir 440 SM) menjelaskan bahwa masyarakat Iran Greater mengenal Zoroaster pada periode awal zaman Achaemenid (648-330 SM), khususnya yang berkaitan dengan peran orang Majus. Menurut Herodotus, orang Majus adalah suku keenam dari median (sampai penyatuan Kerajaan Persia di bawah pemerintahan kaisar Cyrus Agung, di mana semua Iran disebut sebagai "Mede" atau "Mada" oleh bangsa-bangsa Dunia Kuno).
Walaupun tidak dijelaskan Cyrus II adalah seorang Zoroaster, namun pengaruh ajaran Zoroastrianisme kemudian yang memungkinkan Koresy membebas-kan orang-orang Yahudi dari penawanan dan memungkinkan untuk kembali ke Yudea, ketika kaisar Cyrus agung mengalahkan Babel pada tahun 539 SM. 
Kemudian zaman kaisar. Menurut prasasti Behistum, Darius adalah pemuja Ahura Mazda. Setelah Darius I, dalam prasasti Achaemenid, kaisar Akhemenid mengakui pengabdiannya kepada Ahura Mazda, yang kemudian dikenal dalam sejumlah teks Zoroaster Avesta.  Kemudian pada pemerintahan Siculus, Raja sekitar tahun 60 SM muncul untuk mendukung Zoroaster.[6]



3.      Ajaran-ajaran
Dewa-dewa
Dewa yang baik dalam agama ini dapat disebut Ahura Mazda, dewa kebijaksanaan. Ahura Mazda adalah dewa tertinggi yang menjadi simbol. Nama Ahura Mazda berarti “Dewa Tertinggi” atau ”Dewa Kebijaksanaan” dan ia juga sebagai pencipta, dewa kebaikan, yang semua orang menyembah kepadanya.
Hal itu dapat dikatakan, bahwa Zoroaster menyangkal/meniadakan perwujudan dari berbagai dewa dan iblis. Pemeluk agama ini tidak begitu percaya akan Ahura Mazda memerintah segalanya, sehingga mereka juga mengakui bahwa kekuatan iblis berasal dari Dewa Angra Mainyu/ Ahriman. Hal inilah yang dipercayai pemeluk agama ini yaitu ada dua kekuatan yang menguasai dunia ini, yaitu kebaikan di bawah Ahura Mazda dan kejahatan di bawah Angra Mainyu. Jika menggunakan pengetian seperti di atas maka pandangan seperti ini dapat dikatakan sebagai Dualisme.
Para peneliti dan pengikut sependapat, Zoroastrianisme  dibandingkan dengan Kekristenan, dimana dengan adanya sebuah Doktrin Trinity dan meyakini adanya kekuatan jahat, dapat disamakan sebagai monotheisme.
Pengikut Zoroaster percaya juga pada 6 kekuatan roh, yaitu sesuatu yang bukan Tuhan dan juga tidak tepat jika dikatakan makhluk. 6 Roh tersebut adalah, sbb:[7]
1. Vohu Mada yaitu roh yang memiliki jiwa berbudi dan mati di surga. Kadang-kadang dia disebut pikiran yang baik atau penglihatan yang baik, dan dia  akan memberikan dua macam kebijaksanaan pada siapa yang memperhatikannya. Vohu Mada mengharuskan Umat Zoroaster mengorbankan binatang untuknya,  sekarang umat mempersembahkan susu dan mentega dalam ritual.
2. Kshathra yaitu roh yang mahamulia dan pejuang kerajaan yang membela orang miskin. Dia kadang-kadang disebut KebaikanDominion Ahura Mazda.
3. Asha Vahista yaitu dewa pembela perintah-perintah dunia dan memerangi iblis. Dia adalah roh kebenaran dan keadilan, yang memilki tujuan untuk memerangi kebohogan.
4. Armati yaitu penyokong kebijaksanaan di bumi, merupakan roh wanita dari devosi yang kudus dan pemikiran yang benar.
5. Haurvatat yaitu roh yang membawa kemakmuran, kemurnian dan  kesehatan. Ia juga dalam komando air dan ia menggambarkan air dalam upacara Yana.
6. Ameretat yaitu roh yang memberikan kehidupan yang kekal, atau setidak-tidaknya umur yang panjang, atau petunjuk agar memiliki umur yang panjang untuk kehidupan yang kekal. Dia menggambarkan Haoma dalam upacara Yasna. Ameretat dan Haurvatat hamper selalu berpasangan.
7.  Roh Kudus
Spenta Mainyu, Roh Kudus dewa, merupakan sebuah konsep yang bertalian. Dia tidak dianggap satu dari Amesha Spentas, karena sifatnya hampir serupa dengan Ahura Mazda dan dia memiliki tujuan yang sama dengannya. Spenta Aminyu tidak memiliki kehidupan yang berbeda dari Ahura Mazda, tetapi  mengalami penambahan roh, karena kehadirannya menolong pendistribusian seluruh ciptaan dari Ahura Mazda. Dia juga menolong menyempurnakan realisasi diri ilahi Ahura Mazda.[8]

2.      Filsafat Yunani
Pemikiran-pemikiran Filsafat Islam masuk dalam Peradaban Islam,baik filsafat Rasional maupun Irasional,yng terwujud dalam bentuk filsafat Helenisme.Sebelum datangnya Islam,Filsafat ini tidak dikenal oleh bangsa Arab dan hanya minoritas dari mereka yang mengenalnya.Mereka baru mengenal filsafat islam telah berhasil memperluas pengaruhnya dalam peradaban timur,dan dengan sendirinya melaakukan pergumulan serius dengan budaya-budaya local.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam kancah pemikiran islam lewat terjemahan,diakui oleh banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat islam menjadi makin pesat.Namun demikian seperti yang dikatakan Oliver Leman,adalah salah satu kesalahan besar jika menganggap filsafat islam itu bermula dari penerjemaha-penerjemahan teks-teks Yunani tersebut,atau hanya nukilan dari filsafat, Aristoteles (384-342 SM) seperti yang dituduhkan Renan,atau Neo-Platonisme yang dituduhkan Duhem.
Transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses komleks dimana ia sering dipengaruhi oleh imterprestasi-interprestasi yang diberikan melalui trades skolastik sebelumnya, dan kadang kala dalam istila-istilah yang digunakan scara teknis dalam suatu disiplin ilmu baru yang berkaitan dengan Bahasa Arab atau islam.Konsekuensinya tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas ke dalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dank arena itu direkonstruksikan secara terlepas dari luar teks.
Perluasan-perluasan pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari Al-Kindi (802-807 M) sampai Ibnu Rusydy (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi Kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. Karena itu pula,persentasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak bisa menjalankan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-bats cultural sudah terlewati.
Sedemikian tidak bisa dibantah Bhwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi social yang melingkupinya. Artinya Filsafat Islam adalh sesuatu yang berdiri sendiri,mempunyai arah,gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari Yunani.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelu kedatangan filsafat Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umayyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni Al-Kindi (801-873 M) baru mulai digarap seriuspada masa dinasti Abbasiyyah, khususnya pada masa Al-Makmun (811-833), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w.857 M), Yuhana Ibn Musyawaih dan Hunain Bin Ishaq.Pada masa ini, system rasional berfikir teah berkembang pesat dalam masyarakat  intelektual arab-Islam, yakni dalam fiqh(yurispendensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional,yang dibangun oleh Washil bin Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi Negara berkembang dalam berbagai cabang, dengn tokohnya masing-masing seperti Amr Ibnu Ubaid (w.760 M), Jahiz Amr Ibnu Bahr (w.808 M), Abu Hudzail Ibnu Al-Allaf (752-849 M),Sayyar An-Nadzam (801-835 M), Mu’ammar ibn Abbad (w.835 M), dan Bisyr ibn Al-Mu’tamir.
Begitu pula dalam bidang Fiqh.Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hokum (Istimbath) denagn istilah-istilah Istishan, Istislah, Qiyas dan lainnya telah lazim digunakan.
Tokoh-tokohnya yang paling masyhur di dunia muslim sepanjang peradaban Islam adalah Abu Hanifah (699-767 M), Imam Maliki (716-719 M), Imam Syafi’I (767-820 M), dan Imam Abu Hambal (780-850 M) yang hidup sebelum kedatangan Filsafat Yunani.
Setelah masuknya pemikiran dan Filsafat Yunani lewat program penterjemahan. Dalam proyek ini, hamper semua buku pasca Socrates (470-399 M) yang berlaku disekolah-sekolah Helenisme diterjemahakn, khususnya karya-karya Aristoteles kecuali politics, dan karya-karya Neo-Platonis,seperti Platonis (205-270 M) dan Prophyry (232-304 M), namun demikian para filosof islam rupanya lebih tertarik pad ide-ide Neoplotonisme dibanding Aristotele, setidaknya ajaran Neo-Platonisme lebih popular dan berkembang dalam pemikiran Islam dibanding gagasan Aristoteles yang tampaknya hanya dikaji aspek logika formalnya.Ini tampak jelas pada ajaran Emanasi Al-farabi, meski dai di juluki sebagai tokoh Paripatetik, dan juga Emanasi Ibnu Sina atau ajaran-ajaran sufisme. Menurut Nur Kholis Majid, kenyataan itu terjadi mungkin karena konsep Ketuhanan Neo-Platonisme terkesan Tauhid. Misalny tentang penegasan dan trensendensi asal pertama (al-Ashl al-awwal) atau Tuhan.[9]

3.  Filsafat Arab
Sejarahnya filsafat Arab berlangsung semenjak kelahiran agama islam itu sendiri.Menarik sekali untuk mengamati ”perselisihan”antara teologi dan filsafat yang berlangsung dalm waktu dua abad setelah tegaknya islam tahun 622 M. Pada saat yang sama, beberapa penemuan penting seperti saintifik, medis, dan teks-teks filosofis dari tradisi Yunani banyak dipelajari dan digunakan dalam tradisi Syiria denagn memakai logika Aristotelian untuk perdebata-perdebatan teologis. Pada abad ke_3 dari kalender isalam (abad ke-9 M), setelah tumbuh kedua pergerakan terjemahan besar-besaran yang berpusat di Baghdad. Hal ini direspons oleh filusuf muslim, Kristen, yahudi, untuk mulai menulis dalam bashasa arab yang kelak akan memberikan kontribusi penting bagi tradisi berfilsafat yang terus hidup sampai sekarang. Perdebatan dan perlombaan atas logika, tat bahasa, teologi, dan filsafat oleh Muslim, Kristen, dan Yahudi terjadi di istana khalifah struktur dan pondasi kosmos. Sifat-sifat Entensitas dunia fisik, hubungan manusia dengan Tuhan yang  transenden, prinsip-prinsip metafisika, sifat-sifat logika, dasar-dasar epistimologi, dan mengejar kehidupan yang baik berdasarkan etika, singkatnya isu-isu filsafat tradisional, meskipun dalam baru-baru ini diperdebatka dengan intensitas, orinalitas, dan wawasan tingkat tinggi.
Ini adalah awal dari apa yang disebut periode klasik atau periode perkembngan Filsafat  bagi bangsa Arab yang mulai dari abad kesembilan sampai kedua belas Masehi. Selam periode ini  para penulis bekerja dan menafsirkan kembali warisan filsafat Yunani, terutama Aristoteles. Proses ini memuncak pada akhir periode klasik dengan lahirnya komentar tentang karya-karya Aristoteles oleh Ibnu Rushd. Tetapi, periode perkembangan bukan hanya sekedar kelanjutan dari tradisi filsafat Yunani. Tradisi islam yang sangat penting adalah prestasi menjulang tinggi dari Ibn sina. Dia adalah salah satu dari banyak pemikir yang bergulat dengan ide-ide tradisi teologi dalam Islam (‘Ilm al-kalam). Filsaft post klasik bangsa Arab selanjutnya didominasi untuk merespon terhadap Ibn Sina dan tradisi kalamnya. Ketika Ibnu Rusyd sedang melaksanakan proyek mengenai penjelasan lengkap pemanfaatan karya-karya Aristoteles dalam bahasa Latin dan Ibrani, muncul kekhawatiran lain yang mendorong pengembangan terhadap penyelidik filosof post klasik.
Bahkan ide-ide filosof yang menarik, muncul didunia Islam diberbagai tradisi selam ber abad-abad. Ketertaikan filosof tidak hanya bberkembang secara “filosofis”  di dalam tulisan-tulisan penulis seperti Ibnu Sina dan dalam tradisi kompleks ‘ilm al-kalam, tetapi juga dalam prinsip yurispendnsi  (ushul fiqh), tafsir Al-Qur’an, ilmu Alam, sastra(adab) yang relevan dengan etika, filsafat politik komplementer, dan sebagainya.[10]



D.    Kesimpulan
Kesamaan  dari filsaffat  yunani, arab, persia adalah obyeknya yakni alam dan manusia. Pemikiran filsafat itu sendiri berada di tengah-tengah agama dan ilmu.sehingga memudahkan para filsuf menyesuaikan alur pemikiran filsafat dengan ajaran agamanya.


DAFTAR PUSTAKA

Diane Morgan, the Best Guide to Eastern Philosophy and Religion, (the United States of America:  Renaissance Media, 2001), hal. 297-298.
Jean Kellens, "Avesta",  dalam Encyclopaedy Iranica Vol. 3, (New York: Routledge & Kegan Paul, 2005).
M Browne, A. Histoty of Zoroastrianisme, (Leiden: Ej. Brill, 1996).
Michael Keene, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius)


[1] Michael Keene, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius),hal 
[2]Ibid. hal.174
[3] Ibid
[4] Ibid. hal.174
[5] M Browne, A. Histoty of Zoroastrianisme, (Leiden: Ej. Brill, 1996), hal.1.
[6] Jean Kellens, "Avesta", dalam Encyclopaedy Iranica Vol. 3, (New York: Routledge & Kegan Paul, 2005) hal.35-44
7 Diane Morgan, the Best Guide to Eastern Philosophy and Religion, (the United States of America:  Renaissance Media, 2001), hal. 297-298.

[8] Ibid., hal. 298-299.

[9] http://keyboard-cakrawala.blogspot.com/2013/01/helenisme-dan-pekembangan -filsafat_8602.html
[10] http://keyboard-cakrawala.blogspot.com/2013/01/helenisme-dan-pekembangan -filsafat_8602.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar